Selasa, 30 Agustus 2016

Cerita Dibalik Senja yang Menghilang


Tentang senja yang ku ceritakan kali ini terjadi sekitar setahun yang lalu...

          Tepat saat kondisi yang terjadi di sore itu akupun mulai merenungkan nasib dengan ditemani emosi yang membara. Entah apa yang ku rasakan disaat itu, masih teringat jelas di benakku, raut wajah itu, ekspresi itu, bahkan tetesan air mata itu. Masih teringat di benakku kau ucapkan kata kata asing yang tak pernah ku dengar dari mulut mungilmu. Waktu dimana sang matahari bertemu dengan bulannya. Senja yang dari dulu aku dambakan, ku kagumi, dan ku banggakan. Entah mengapa senja saat itu begitu ku benci, senja yang seharusnya mempertemukan dua sumber cahaya, tapi senja yang kulihat saat itu seaakan memisahkan dua sejoli yang ingin melangkah bersama melewati gelapnya malam bersama dan berharap menuju fajar bersama pula.
       Masih terniang dibenakku kala ku mendengar kata pedas yang bahkan ayampun tak menginginkannya terlontar dari mulut seorang gadis yang sangat ku kagumi. Ya.. Aku teringat kala itu kita berdua berdiri di bawah pohon yang begitu harum pada masanya. Pohon yang biasanya dilambangkan dengan suatu tempat dimana orang orang akan tertidur dengan kekal. Tempat dimana terdapat sebuah gerbang yang membawa insan yang berusaha mencari ilmu. Kita melakukan perdebatan yang begitu tak termakan oleh hati nurani manusia, ku rasa yang kita sangkut pautkan kala itu hanyalah nafsu dan emosi yang membara, tanpa di selingi dengan pemikiran dari hati yang dimiliki oleh manusia. Hingga saatnya, kata yang begitu tak teringinkan itu terucp dari mulutmu itu. Entah, kenapa aku mengiyakan kata itu, mungkin karena emosi yang sudah mengalir didalam tubuhku.
          Ya.. Sejak saat kejadian itu akupun tak pernah sedetikpun bisa menghilangkan pikiranku terhadap sosok itu, entah kenapa semua itu bisa terjadi. Seakan hati ini ingin kembali, tapi apalah daya ku tak bisa apa apa. Pernah sekali aku mencoba mencari Mentari yang ku rindukan itu, mencoba berbelas kasih, memohon ampunan, bak sang prajurit yang meminta tahta Raja kepada sang rajanya. Akupun di tolak sementah mentahnya, bagaikan kotoran yang tak pernah ternilai kegunaannya. Aku pernah berfikir, mungkin sekarang aku dengan Mentariku bagaikan Air dengan Minyak, yang tak pernah bisa menyatu meskipun berdekatan sekalipun.
           Sejak saat itu ku memberaniakan diri tuk menapaki gelapnya malam sendirian. Ya.. Sejak senja yang aneh itu aku bagaikan Bulan yang kehilangan Mataharinya, gelap, redup, dan tak berdaya. Hingga tiba saatnya banyak terdapat bintang bintang yang mencoba menemani sang Bulan, yang menawarkan kemilaunya. Yang ku fikirkan saat itu ialah bagaimana caranya sang Bulan tetaplah bisa bersinar, aku sadar bahwa banyak di bawah sana yang menginginkan penerang dariku. Hingga akhirnya ku memberanikan diri untuk mencoba mendekati salah satu bintang itu. Berharap aku bisa bersinar kembali dan dapat menerangi permintaan dari jutaan manusia di bawah sana, meski aku sadar bahwa sinar bintang yang berada di sampingku saat ini tak se-terang dengan Matahari yang menyinariku seperti sedia kala.
          Tapi apalah daya sang Bulan, entah mengapa dan bagaimanapun yang dapat menyinari sang bulan ialah Matahari. Sang bulan bersyukur dapat merasakan hangatnya sang Matahari meskipun dari kejauhan. Ada waktu yang membuat semangat baruku terpancar, bahwa ada kala dimana keingianan untuk bertemu sang Mentari dapat tercapai. Entah harus beberapa malam lagi sang Bulan dapat bertemu  Matahari yang di rindukan itu. Dan yang pasti sang Bulan tetap menunggu hingga Sang Fajar itu mempertemukan Sang Bulan dan Sang Matahari. 
          Ya.. mungkin itu perumpamaan yang dapat aku utarakan, pada intinya tak ada yang tahu kejadian yang akan datang, tetapi sang Bulan tetap merindukan sang Mentarinya yang dulu pernah membuatnya bersinar terang...
By : Muhammad Niskala Rahmat

0 komentar:

Posting Komentar